Pages

Ads 468x60px

Labels

Kamis, 22 November 2012

Mahalnya Biaya Pengobatan Penyakit Kritis Tembus Rp. 100 Juta / Bulan


Kesibukan sehari-hari membuat sebagian orang lebih memilih memakan makanan siap saji dengan melalaikan buah dan sayur-sayuran. Penggemar makanan Indonesia pun tak luput dari 'bahaya', apalagi banyak  aneka jenis masakan di Indonesia yang menggunakan bahan santan, jeroan, dan goreng-gorengan yang notabene merupakan sumber kolesterol.

Sebagian masyarakat kita saat ini sudah menyadari petingnya berolahraga untuk menjaga kesehatan, namun sayangnya kesadaran tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran akan aspek kesehatan lainnya. Pola makan tidak teratur, tidur terlalu larut, stres di tempat kerja yang seringkali terbawa hingga ke rumah, termasuk perlindungan kesehatan tambahan dengan berasuransi.

Semua orang setuju bahwa kesehatan itu tak ternilai harganya. Ketika  kita jatuh sakit, seringkali kita baru  merasakan dan menyadari betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan penyakit yang diderita. Hasil kerja keras kita selama ini dalam mengumpulkan uang terasa sia-sia hanya untuk membayar biaya rumah sakit. Tak jarang kita menyesalinya, apalagi bagi yang sudah berkeluarga.

Menurut Dr. Ulfana Said Umar, Wakil Sekretaris Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), rata-rata biaya pengobatan untuk penyakit kritis (kanker) yaitu antara Rp. 102-106 juta / bulan. Untuk sampai ke diagnosis awal saja dibutuhkan dana sudah mencapai Rp. 10 juta, apabila kankernya bisa dioperasi minimal dibutuhkan Rp. 25-29 juta, lalu masih dibutuhkan radiasi dan komeoterapi dengan biaya Rp. 2-6 juta sekali terapi sebanyak rata-rata 6 kali terapi. 

Mahalnya biaya pengobatan membuat seseorang pasrah karena tidak punya jaminan kesehatan.
Dr. Ulfana memberikan contoh dari 1.200 pasien leukemia atau kanker darah yang disantuni YKI hanya 10-15 persen saja yang ditanggung oleh Jamkesmas dan 20 persen oleh Askes. Sekitar 60-70% harus bayar sendiri.


Buat sebagian orang mungkin  sudah menyisihkan dana dari penghasilan untuk pos kesehatan, namun jika terkena penyakit kritis (Kanker, Jantung, Stroke, Diabetes, dll ) bisa jadi dana yang  dikumpulkan selama ini  tidak mencukupi dan kemungkinan terjadi adalah timbulnya hutang atau malah menjual aset. 
Sebenarnya ada cara yang lebih mudah yakni dengan membeli asuransi kesehatan. Kita sering meremehkan manfaat asuransi kesehatan dan segan untuk diproteksi. Sebagian orang bahkan beranggapan bahwa dirinya merasa masih muda dan sehat sehingga tidak membutuhkan asuransi, padahal pentingnya berasuransi adalah untuk memberikan perlindungan saat kita terkena risiko kesehatan yang tak terduga dan dapat terjadi kapan saja. 
Sudahkan Anda memiliki asuransi kesehatan yang mencukupi buat Anda dan keluarga tercinta...??

Joko purwanto

Minggu, 18 November 2012

Pasien yang Punya Asuransi Kesehatan Lebih Cepat Sembuh


Jakarta, Bagi pasien yang menjalani pengobatan atau rawat inap, asuransi atau jaminan kesehatan sangat bermanfaat untuk meringankan beban biaya. Tak hanya itu, asuransi juga dapat mempercepat proses penyembuhan. Pasien yang memiliki asuransi atau jaminan kesehatan nyatanya lebih cepat sembuh dibanding yang tidak punya.

Awalnya, para peneliti mengira bahwa peluang kesembuhan pasien lebih dipengaruhi oleh ras. Orang Afrika-Amerika yang tinggal di lingkungan perkotaan dengan penghasilan yang rendah dianggap lebih terbebani oleh biaya rumah sakit dan sehingga tingkat kematian saat rawat inapnya lebih tinggi. Namun agaknya ada faktor lain yang lebih berperan dalam kecenderungan ini.

Derek Ng dari Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health dan timnya kemudian berusaha untuk mencari tahu. Ng dan rekan-rekannya melihat catatan medis dari 3 rumah sakit di Maryland dari tahun 1997 hingga 2003. Ketiga rumah sakit tersebut memiliki letak demografis yang berbeda.

Penelitian ini membagi pasien menjadi 3 kelompok, yaitu pasien yang punya asuransi kesehatan swasta, pasien yang punya asuransi kesehatan negara dan pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Hasil catatan kesehatan menunjukkan bahwa sebanyak 4.908 orang pasien didiagnosis dengan serangan jantung, 6.759 orang mengalami penyumbatan atau pengerasan arteri dan 1.293 orang terserang stroke.

Pendapatan pasien diketahui dari catatan sensus penduduk, sedangkan pengeluaran pasien untuk pengobatan diketahui lewat berkas kematian. Setelah menganalisis faktor ras, usia, tingkat keparahan penyakit dan rata-rata pendapatan, peneliti menemukan bahwa asuransi kesehatan merupakan indikator terbesar untuk menentukan apakah pasien dapat sembuh setelah masuk rumah sakit atau tidak.

Pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan atau asuransi kesehatannya tidak cukup menanggung biaya perawatan memiliki kemungkinan 31 persen lebih rendah untuk dapat bertahan hidup setelah mengalami serangan jantung. Pasien ini juga kemungkinan hidupnya 50 persen lebih rendah setelah didiagnosis mengalami penyumbatan atau pengerasan arteri.

"Hasil penelitian juga menemukan bahwa tingkat ketahanan hidup pada semua etnis setelah menderita serangan jantung atau stroke hampir sama. Bahkan orang kulit hitam sebenarnya sedikit lebih mungkin untuk pulih setelah mengalami penyumbatan dan pengerasan arteri," kata Derek Ng seperti dilansir Medical Daily, Jumat (10/8/2012).

Di Amerika Serikat, presiden Obama tengah berupaya mereformasi program perawatan kesehatan agar warga AS bisa mendapat pengobatan yang terjangkau. Namun upaya ini masih alot karena harus melewati perdebatan panjang dengan banyak kepala negara bagian. Di Indonesia, asuransi kesehatan untuk masyarakat tak mampu sudah ditanggung oleh Jamkesmas.


(pah/ir)
Sumber : Detikhealth.com